Cara mengurus jenazah korban Kebakaran.

Bagaimana cara memandikan jenazah korban kebakaran, yang tidak diketahui muslim atau tidaknya.?
~masailuna~

Deskripsi masalah:

Disebuah Perusahaan kembang api, yang mana ratusan pekerjanya terdiri dari berbagai kalangan, ada yang muslim, ada pula yang non muslim. Di suatu hari di pabrik tersebut terjadi kebakaran hebat yang menelan ratusan korban jiwa, saking hebatnya kebakaran itu, sampai-sampai mayat yang menjadi korban sulit untuk dikenali, bahkan ada yang sudah tidak utuh jasadnya. Seperti potongan tangan, kaki, bahkan ada yang tinggal beberapa cuil dari anggota tubuh dari korban kebakaran tersebut.

Pertanyaan:

  • Bagaimana cara memandikan mayat dari korban kebakaran tersebut.?
  • Apakah mayat yang non muslim juga harus diurus sebagaimana mayat orang muslim..?

Jawaban :

oleh ~Redaksi Masailuna~
Cara mengurus jenazah korban Kebakaran_masailuna

Berdasarkan deskripsi masalah yang telah disebutkan di atas, kami selaku redaksi menyimpulkan bahwasannya:

Menurut Imam Syaikh Ibrahim al Bajuri di dalam kitabnya (al-Bajuri) menjelaskan bahwasanya jika keadaan jenazah tersebut sekiranya apabila dimandikan kulitnya akan terkelupas dikarenakan terbakar ataupun yang lain, maka jenazah tersebut ditayammumi sebagai pengganti mandi, karena sulitnya melaksanakan mandi.

Adapun menurut Imam Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami di dalam kitabnya (Tuhfah al-Muhtaj) juga menjelaskan bahwa barang siapa sulit untuk memandikannya, dikarenakan tidak ada air ataupun karena semisal terbakar atau hangus, atau bisa membahayakan orang yang memandikan dan tidak mungkin menjaga diri, maka jenazah tersebut wajib ditayammumi sebagaimana orang hidup sebagai pengganti mandi.

Dengan demikian, dapat diketahui dan disimpulkan bahwa cara memandikan jenazah yang meninggal karena kebakaran adalah dengan cara ditayammumi.
Baca Juga:

Ibarot:

(وَيَلْزَمُ) عَلَى طِرِيْقِ فَرْضِ الْكِفَايَةِ (فِي الْمَيِّتِ)... الْمُسْلِمِ غَيْرِ الْمُحْرِمِ وَالشَّهِيْدِ (أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ غُسْلُهُ وَتَكْفِيْنُهُ وَالصَّلاَةُ عَلَيْهِ وَدَفْنُهُ ) (قَوْلُهُ غُسْلُهُ) أَيْ أَوْ بَدُلُهُ وَهُوَ التَّيَمُّمُ كَمَا لَوْ حُرِقَ بِالنَّارِ وَكَانَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى .
Dan wajib menurut secara fardlu kifayah pada mayat yang muslim selain orang yang mati dalam keadaan ihram dan mati syahid (dalam pertempuran membela agama) empat perkara, yaitu: memandikannya, mengkafaninya, melakukan shalat atasnya dan menguburnya. Ucapan pengarang: memandikannya, artinya atau penggantinya mandi, yaitu tayammum, sebagaimana andaikata jenazah yang terbakar oleh api dan apabila dimandikan maka dagingnya terlepas dari tubuhnya. [ Al Bajuri 1/ 242 - 243 ].
( وَمَنْ تَعَذَّرَ غَسْلُهُ ) لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِنَحْوِ حَرْقٍ أَوْ لَدْغٍ وَلَوْ غُسِّلَ تَهَرَّى أَوْ خِيفَ عَلَى الْغَاسِلِ وَلَمْ يُمْكِنْهُ التَّحَفُّظُ ( يُمِّمَ ) وُجُوبًا كَالْحَيِّ. تحفة المحتاج في شرح المنهاج - (ج 11 / ص 322(
Dalam masalah ini pun terdapat silang pendapat antar tokoh mazhab. Baik Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i, Imam Malik Maupun Ahmad bin Hanbal. Namun, di sini kami lebih membatasi pembahasan pada pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi‘i tentang proses pelaksanaan pengurusan jenazah yang “tidak normal”. Lebih spesifik lagi, kami ingin membedah kasus pencampuradukan potongan-potongan tubuh mayat yang diduga bahwa di situ terdapat mayat Muslim dan non-Muslim dari perspektif kedua tokoh di atas.
Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak wajib dimandikan dan disalatkan bagi jenazah yang sebagian anggota tubuhnya terpotong-potong atau hilang, kecuali kalau memang kebanyakan anggota tubuhnya atau minimal separuhnya beserta kepalanya diketemukan. Hukum ini berlaku pula bagi jenazah yang terpotong-potong dan telah bercampur baur dengan non-Muslim, namun dalam hal memadikannya beliau tetap membolehkan, meskipun tidak seperti memandikan jenazah Muslim.
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi‘i mengatakan bahwa jikalau ditemukan mayat manusia terpotong-potong karena peristiwa kebakaran, dimakan binatang atau karena sebab lain, maka wajib hukumnya memandikan mayat tersebut sebagaimana biasanya, meski hanya berupa sebagian dari potongan tubuh. Namun jikalau tidak memungkinkan untuk dimandikan karena adanya kekhawatiran akan lebih memperparah kondisi si mayat misalnya, maka potongan tadi tidak usah dimandikan, akan tetapi cukup ditayammumi. Yang demikian ini bisa dilakukan bila dalam realitasnya potongan tersebut tidak bercampur dengan najis. Lain halnya jika pada tubuh korban masih ditemukan najis dan kondisi mayatnya tidak boleh terkena air, maka ia tidak perlu ditayammumi.
Kendati demikian, bila ditilik lebih jauh, pendapat Imam asy-Syafi‘i tersebut mempunyai kesamaan dengan peristiwa bersejarah dari perang Jamal, tepatnya persoalan yang dialami oleh sahabat Abdurrahman, di mana tubuhnya terpotong-potong. Tangannya yang telah terpisah dari jasad dimakan oleh burung Nasar dan dibawa terbang ke Makkah, hingga akhirnya ditemukan oleh sahabat lain yang kemudian pengurusannya diproses sebagaimana layaknya pengurusan mayat biasa, yaitu dikafani, disalati dan dikebumikan.
Hukum ini juga berlaku bagi mayat yang bercampur antara Muslim dengan non-Muslim dan tidak bisa dikenali lagi antara keduanya, maka tetaplah wajib dimandikan dan disalatkan. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, Dawud az-dzahiri dan Ibn Munzir .
Wallohu A'lam Bis Showab.

Belum ada Komentar untuk "Cara mengurus jenazah korban Kebakaran."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel