Jaré Wong Jowo, Anak Mbarep Tidak Boleh Nikah dengan Anak Nomer Tiga. Benarkah..?

Pertanyaan :

Apakah benar menurut syariat, terkait istilah orang jawa yang mana mengatakan kalau anak pertama tidak boleh menikah dengan anak nomer tiga... Dalam masalah ini ada istilah (jilu) anak nomer siji karo anak nomer telu..
Adakah dalil atau tendensi terkait istilah jawa tersebut..???

Baca: Wanita Sholichah, Siapakah Mereka.? 

Jawaban:

Konon menurut mitos orang jawa, pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga sulit sekali untuk bisa harmonis, jauh dari kebahagiaan, bahkan tak jarang yang beranggapan kalau mempunyai keturunan akan dikaruniai anak yang cacat, atau akan hidup dalam penderitaan, bagaimana ajaran islam menyikapi hal-hal yang berbau adat seperti dalam deskripsi masalah ini..?

Kalau orang tersebut meyakini kejadian baik dan buruk dalam rumah tangganya itu akibat pengaruh pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga, maka orang tersebut bisa menjadi kufur, akan tetapi kalau hanya sekedar 'adiy (kejadian umum) serta dimungkinkan kedua hal tersebut tidak menimbulkan keterkaitan sama sekali maka boleh (tidak menjadikan kufur).

Baca: Tatacara Bersiwak dan Fadhilahnya. 

Adapun ibarotnya adalah:


مسألة. اذا سأل رجل اخر هل ليلة كذا او يوم كذا يصلح للعقد او النقلة فلا يحتاج الى جواب لان الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله . وذكر ابن الفركاح عن الشافعي انه ان كان المنجم يقول ويعتقد انه لا يؤثر الا الله ولكن اجرى الله العادة بانه يقع كذا عند كذا. والمؤثر هو الله عز وجل . فهذه عندي لا بأس فيه وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلو قات، وافتى الزملكاني بالتحريم مطلقا. اه‍

“Apabila seseorang bertanya pada orang lain, apakah malam ini baik untuk di gunakan akad nikah atau pindah rumah maka pertanyaan seperti tidak perlu dijawab, karena nabi pembawa syariat melarang meyakini hal semacam itu dan mencegahnya dengan pencegahan yang sempurna maka tidak ada pertimbangan lagi bagi orang yang masih suka mengerjakannya, Imam Ibnu Farkah menuturkan dengan menyadur pendapat Imam syafii : Bila ahli nujum tersebut meyakini bahwa yang menjadikan segala sesuatu hanya Allah hanya saja Allah menjadikan sebab akibat dalam setiap kebiasaan maka keyakinan semacam ini tidak apa-apa yang bermasalah dan tercela adalah bila seseorang berkeyakinan bahwa bintang-bintang dan makhluk lain adalah yang mempengaruhi akan terjadinya sesuatu itu sendiri (bukan Allah)”.
[ Ghayat al Talkhis al Murad Hal 206 ]



تحفة المريد ص. ٥٨

فمن اعتقد ان الاسباب العادية كاانار والسكين والاكل واشرب تؤثر في مساببتها الحرق والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالاجماع او بقوة خلقها الله فيها ففي كفره قولان والاصح انه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القا ئلين بذلك المعتزلة القائلون بان العبد يخلق افعال نفسه الاختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالاصح عدم كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله وجعل بين الاسباب والمسببات تلازما  عقليا بحيث لا يصح تخلقها فهو جاهل وربما جره ذلك الى الكفر فانه قد ينكر المعجزات الانبياء لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد ان المؤثر هو الله وجعل بين الاسباب والمسببات تلازما عادى بحيث يصح تخلقها فهو المؤمن الناجى انشاء الله. اه‍


Barang siapa berkeyakinan segala sesuatu terkait dan tergantung pada sebab dan akibat, seperti api menyebabkan membakar, pisau menyebabkan memotong, makan menyebabkan kenyang, minum menyebabkan segar, dll dengan sendirinya (tanpa ikut campur tangan Allah) maka hukumnya orang tersebut kafir, berdasarkan mufaqot para ulama.
atau berkeyakinan terjadi sebab kekuatan (kelebihan) yang diberikan Allah didalam nya, maka menurut pendapat yang paling shochih tidak sampai kufur, tapi fasiq dan ahli bid'ah. seperti halnya kaum mu'tazilah yang berkeyakinan bahwa seorang hamba adalah pelaku perbuatan nya sendiri, dengan sifat kemampuan yang diberikan Allah kepada dirinya. 
atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Alloh , hanya saja segala sesuatu terkait sebab dan akibatnya secara rasio, maka orang tersebut orang bodoh.
atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Alloh, hanya saja segala sesuatu terkait sebab dan akibatnya secara kebiasaan, maka orang tersebut orang mu'min yang selamat. insyaAlloh. (Tuchfatul Muriid 58)
Wallohu A'lam Bisshowab.

Jadi hal terkait istilah jawa tersebut diatas, itu tergantung bagaimana kita meyakini fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
apakah memang seperti itu adanya atau tidak.
Saya sendiri selaku penulis amat sangat tidak setuju dengan istilah itu, terkait pengalaman yang saya lihat sendiri, yaitu bulek saya dari adiknya kakek saya, adalah anak nomer tiga, dan dia dapat suami yang mana suaminya anak pertama, buktinya .. Sampai sekarang, (tulisan ini diterbitkan) keduanya masih dalam keadaan baik-baik saja, putra-putri nya juga sehat dan tak kurang suatu apapun.
kalau ada yang tidak percaya, silahkan konfirmasi saya, selaku penulis artikel ini, nanti saya temukan langsung dengan yang bersangkutan.

Dan mungkin, klo memang ditakdirkan, saya pun tidak masalah, saja juga anak nomer tiga, tapi saya insyaAlloh berani menikahi wanita yang notabene-nya anak pertama. semua kita kembalikan pada yang Maha Kuasa. Kita hanya diwajibkan berdoa dan berusaha.


Semoga kita semua diberikan kesehatan, keselamatan, kemakmuran, ilmu yang bermanfaat, rizki yang barokah, Sakinah mawaddah, warrochmah, dan pada akhirnya Khusnul Khatimah.
Amiin Ya Robbal 'Alamin.

Belum ada Komentar untuk "Jaré Wong Jowo, Anak Mbarep Tidak Boleh Nikah dengan Anak Nomer Tiga. Benarkah..? "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel