Zakat Fitrah dengan Uang, Bolehkah...?

Zakat fitrah menggunakan uang.
Deskripsi Masalah:
Pak Andi adalah salah satu warga desa Bangle, akan tetapi dia hidup di perantauan bersama keluarganya. Seperti halnya orang perantauan, menjelang Hari Raya Pak Andi dan keluarga pun mudik ke kampung halaman, sesampainya di kampung, tiba saatnya warga Bangle melaksanakan zakat fitrah, semua warga pun berbondong-bondong ke panitia zakat untuk menyerahkan zakatnya. Dikarenakan pak Andi baru saja pulang dari perantauan, pak Andi pun tak mempunyai beras untuk disetorkan ke panitia zakat fitrah, dia pulang hanya membawa sedikit pakaian untuk digunakan sampai saatnya nanti kembali balik ke Jakarta.
Pak Andi hanya punya uang, dan tidak sempat untuk membeli beras untuk dijadikan zakat.

Pertanyaan:

  • Apakah boleh Pak Andi berzakat menggunakan uang…?
  • Kalau tidak boleh, bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi masalah ini, yang notabene nya sangat berlaku sekali di masyarakat.

Jawaban:


Dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang memang ada khilafiyah.

Pertama, adalah pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).
Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi).

Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).

Kedua, adalah pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad).
Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)

Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan:
”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”

Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”  (Al-Baqarah [2]: 286).


Zakat dengan Uang_masailuna
Ulama Syafi’iyyah sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat (mustahiq) dalam bentuk uang. Meskipun seperti itu, praktiknya di beberapa daerah di Indonesia masih banyak yang kurang memahami kesepakatan ulama ini.

Menyikapi fenomena itu,  menurut hemat kami, penjelasan terkait zakat dengan menggunakan uang atau melalui uang ialah alat tukar tersebut (uang) hanya sebagai perantara, sehingga penyaluran zakat tetap dalam bentuk makanan pokok.

Di sini panitia menjelaskan bahwa konsep-konsep tersebut sesuai dengan ketentuan syariat, tapi masyarakat tetap dimudahkan yaitu bisa berangkat dari rumah dengan membawa uang menuju panitia zakat setempat.

Pertama, panitia zakat menyuplai beras dengan membeli atau bermitra kepada salah satu toko penyedia beras di mana setiap muzakki yang datang membawa uang akan dilayani jual beli murni dengan beras yang disediakan oleh panitia terlebih dahulu. Setelah muzakki menerima beras, transaksi penerimaan zakat baru kemudian dijalankan sebagaimana biasanya.

  • Sementara ini, ada beberapa tempat yang sudah menjalankan sistem jual beli mirip seperti di atas, namun kesalahannya terletak pada beras yang dibuat transaksi jual beli bukan beras murni persediaan panitia, tapi beras yang telah diterima panitia dari hasil zakat beras orang lain yang terlebih dahulu datang kemudian beras zakat itu dijual kembali kepada muzakki lain yang datang kemudian. Menjual beras zakat seperti ini tidak diperbolehkan. 

Kedua, panitia yang tidak resmi mendapat SK dari pemerintah tidak dinamakan sebagai amil, mereka hanya berlaku sebagai relawan saja. Artinya semua operasional tidak boleh dibebankan/diambilkan dari zakat. Panitia seperti ini bisa mengambil untung dari hasil jual beli beras yang memang murni untung jual beli untuk kepentingan operasional.

Contoh, panitia mengumumkan, masyarakat yang ingin menyalurkan zakat melalui panitia dengan membawa beras silahkan datang dengan membawa beras 2,5 kg (ada pendapat yang 2,8 kg, ada yang 2,7 kg). Bagi yang ingin membawa uang, besar nominalnya adalah Rp. 25.000,-

Jika sekarang beras standar diasumsikan dengan harga Rp. 8.400,-/kg, maka setiap kali ada muzakki yang datang membawa uang, panitia akan untung Rp. 4.000,-/muzakki. Dengan 4 ribu inilah roda operasional panitia berjalan tanpa mengganggu harta zakat sama sekali. Jika ada 10 orang saja yang datang membawa uang, maka uang Rp. 40.000 , jika 100 orang berarti dapat uang Rp. 400.000 ,sudah cukup untuk operasional panitia yang meliputi pembelian kantong plastik, konsumsi, transport dan lain sebagainya.

Ibarot:
  • كاشفة السجا لنووي الجاوي - (ج 1 / ص 270)

وواجب الفطرة لكل واحد صاع من غالب قوت بلد المؤدى عنه وإن كان المؤدي بغيرها من جنس واحد

  • المجموع الجزء السادس ص : ١٧٥

( فرع ) قال أصحابنا لا يجوز للإمام ولا للساعى بيع شىء من مال الزكاة من غير ضرورة بل يوصلها إلى المستحقين بأعيانها لأن أهل الزكاة أهل رشد لا ولاية عليهم فلم يجز بيع مالهم بغير إذنهم فإن وقعت ضرورة بأن وقف عليه بعض الماشية أو خاف هلاكه أو كان فى الطريق خطر أو احتاج إلى رد جبران أو إلى مؤنة النقل أو قبض بعض شاة وما أشبهه جاز البيع للضرورة كما سبق فى آخر باب صدقة الغنم إنه يجوز دفع القيمة فى مواضع للضرورة قال أصحابنا ولو وجبت ناقة أو بقرة أو شاة واحدة فليس للمالك بيعها وتفرقة ثمنها على الأصناف بلا خلاف بل يجمعهم ويدفعها إليهم وكذا حكم الإمام عند الجمهور وخالفهم البغوى فقال إن رأى الإمام ذلك فعله وأن رأى البيع وتفرقة الثمن فعله والمذهب الأول قال أصحابنا وإذا باع فى الموضع الذى لا يجوز فيه البيع فالبيع باطل ويسترد المبيع فإن تلف ضمنه والله أعلم .

  • روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 337)

الثَّالِثَةُ: لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَلَا لِلسَّاعِي أَنْ يَبِيعَ شَيْئًا مِنَ الزَّكَاةِ، بَلْ يُوَصِّلُهَا بِحَالِهَا إِلَى الْمُسْتَحِقِّينَ، إِلَّا إِذَا وَقَعَتْ ضَرُورَةٌ، بِأَنْ أَشْرَفَتْ بَعْضُ الْمَاشِيَةِ عَلَى الْهَلَاكِ أَوْ كَانَ فِي الطَّرِيقِ خَطَرٌ، أَوِ احْتَاجَ إِلَى رَدِّ جِيرَانٍ، أَوْ إِلَى مُؤْنَةِ نَقْلٍ، فَحِينَئِذٍ يَبِيعُ.

Belum ada Komentar untuk "Zakat Fitrah dengan Uang, Bolehkah...?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel