Hukum menitip dan menyampaikan salam.

Hukum menitip dan menyampaikan salam.


Pertanyaan:

Bagaimana hukum menitip salam, dan menyampaikan salam kepada orang yg dititipi salam...???
Mohon penjelasannya.

Jawaban:


Kebiasaan berkirim salam kepada teman kita atau keluarga teman kita merupakan kebiasaan yang sangat baik. Kami sendiri juga sering melakukan hal itu apabila teman kami pulang ke kampung.

Lantas bagaimana status hukum berkirim salam tersebut? Menurut keterangan yang kami pahami dari kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, hukumnya adalah sunah. Sedangkan pihak yang dititipi salam wajib menyampaikannya karena merupakan amanat.
يُسَنُّ بَعْثُ السَّلَامِ اِلَي مَنْ غَابَ عَنْهُ وَفِيهِ اَحَادِيثُ صَحِيحَةٌ وَيَلْزَمُ الرَّسُولُ تَبْلِيغُهُ لِاَنَّهُ اَمَانَةٌ وَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمَانَاتِ اِلَي اَهْلِهَا

Artinya: “Disunahkan berkirim salam kepada orang yang tidak hadir. Dalam konteks ini terdapat banyak hadits sahih (yang menganjurkannya). Bagi utusan (yang dititipi salam, pent) wajib untuk menyampaikan salam tersebut karena merupakan sebuah amanat. Sungguh, Allah SWT telah berfirnan, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’ (Surat An-Nisa ayat 58),” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz IV, halaman 641).

Kami juga mendapati keterangan yang senada dalam kitab Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib yang ditulis oleh Waliyyuddin Abu Zar’ah Al-‘Iraqi. Dalam kitab ini dicantumkan sebuah hadits yang menyatakan bahwa malaikat Jibril AS menyampaikan salam kepada Aisyah RA yang notabenenya tidak melihat kehadiran Jibril. Rasulullah SAW pun menyampaikan kepada Aisyah salam yang diberikan malaikat Jibril, kemudian salam tersebut dijawab olehnya.

اَلْحَدِيثُ الثَّالِثُ وَعَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا هَذَا جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، وَهُوَ يَقْرَأُ عَلَيْك السَّلَامَ ، فَقَالَتْ وَعَلَيْهِ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ تَرَى مَا لَا نَرَى } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَقَالَ هَذَا خَطَأٌ يُرِيدُ أَنَّ الصَّوَابَ رِوَايَةُ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ كَمَا هُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ 

Artinya: “Hadits yang ketiga, dari Urwah dari Aisyah RA, bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ‘Ini adalah Jibril AS, ia mengucapkan salam kepadamu.’ Lantas Aisyah RA pun menjawab, ‘Alaihis salam wabarakatuh’, engkau (Nabi SAW) dapat melihat sesuatu yang tidak dapat kami lihat.” Hadits riwayat An-Nasai. Menurut An-Nasai, terdapat kekeliruan dalam sanad dalam hadits ini karena yang benar adalah riwayat Az-Zuhri dari Abi Salamah (bukan dari Urwah, pent) dari Aisyah RA sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim,” (Lihat Waliyuddin Abu Zar’ah Al-Iraqi, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, Beirut, Daru Ihya`it Turats, juz VIII, halaman 107).

Salah satu kandungan hadits itu menurut Al-‘Iraqi adalah adanya anjuran untuk berkirim salam. Lebih lanjut ia mengetengahkan pandangan dari para ulama Madzhab Syafi’i yang mewajibkan bagi orang yang diutus untuk menyampaikan salam untuk menyampaikannya kepada pihak yang dikirimi salam. Karena itu merupakan sebuah amanat.

Tetapi baginya, kewajiban itu sebaiknya dibaca dalam konteks di mana pihak yang diutus untuk menyampaikan salam memiliki kesiapan dan kesanggupan untuk menyampaikannya sehingga jika tidak menyatakan kesanggupan, maka ia tidak harus menyampaikan salamnya.

Baca juga:

Sedang pendekatan yang digunakan oleh Al-Iraqi untuk sampai pada kesimpulan ini adalah dengan mengqiyaskan kasus orang yang dititipi sebuah barang titipan tetapi ia tidak mau menerimanya atau tidak sanggup menerima titipan tersebut.

فِيهِ اسْتِحْبَابُ بَعْثِ السَّلَامِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَيَجِبُ عَلَى الرَّسُولِ تَبْلِيغُهُ فَإِنَّهُ أَمَانَةٌ وَيَجِبُ أَدَاءُ الْأَمَانَةِ وَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ إنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا الْتَزَمَ وَقَالَ لِلْمُرْسِلِ إنِّي تَحَمَّلْت ذَلِكَ وَسَأُبَلِّغُهُ لَهُ فَإِنْ لَمْ يَلْتَزِمْ ذَلِكَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ تَبْلِيغُهُ كَمَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً فَلَمْ يَقْبَلْهَا

Artinya: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berkirim salam. Menurut para ulama dari kalangan kami (Madzhab Syafi’i) wajib bagi utusan (orang yang dititipi salam) menyampaikan salamnya karena merupakan sebuah amanat, sedangkan menyampaikan amanat adalah wajib. Dan konteks ini sebaiknya dikatakan (dipahami) bahwa ia (utusan) wajib menyampaikan salam tersebut sepanjang memang memiliki kesanggupan, dan mengatakan kepada pihak yang mengutus (atau menitip salam), ‘Sungguh, saya siap dan akan menyampaikan salam.’ Karenanya, jika ia tidak sanggup, maka tidak wajib baginya untuk menyampaikannya. Hal ini sebagaimana orang yang dititipi sebuah titipan kemudian ia tidak mau menerimanya,” (Lihat Waliyuddin Abu Zar’ah Al-Iraqi, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, juz VIII, halaman 108).

Baca juga:

Dari penjelasan yang disebut di atas setidaknya bisa ditarik simpulan bahwa secara umum, hukum berkirim salam kepada teman atau keluarga teman kita adalah sunah. Sedangkan orang yang dititipi salam, hukumnya wajib menyampakainya karena merupakan "amanat".

Tetapi dengan mengacu pada pandangan yang dikemukakan Al-‘Iraqi di atas, keharusan atau kewajiban menyampaikan titipan salam sebaiknya dipahami sepanjang yang dititip memiliki kesanggupan dan kesiapan untuk menyampaikan salam tersebut. Jika tidak sanggup, maka tidak wajib menyampaikannya.
Wallohu A'lam Bis Showab.

Belum ada Komentar untuk "Hukum menitip dan menyampaikan salam."

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel